Pertanggungjawaban Direksi suatu Perseroan Terbatas terhadap tindakan pengurusan yang dilakukannya

Untuk memberikan gambaran sejauh mana pertanggungjawaban tersebut dapat dimintakan kepada Direksi secara pribadi dapat dilihat dari dua doktrin hukum perusahaan yakni doktrin fiduciary duty dan doktrin business judgement rule yang akan dibahas selanjutnya.

Doktrin Fiduciary Duty

Doktrin fiduciary duty merupakan salah satu doktrin bagi Direksi perseroan terbatas selaku pengurus dalam melaksanakan pengelolaan perusahaan. Doktrin tersebut memberikan perlindungan terhadap pemegang saham maupun perseroan terbatas itu sendiri atas tindakan kepengurusan Direksinya. Black Law Dictonary mendefinisikan fiduciary duty sebagai berikut:

A duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary (such as a lawyer or corporate officer) to the beneficiary (such as a lawyer’s client or a shareholder); a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as the duty that one partner owes to another).[1]

Sejalan dengan pengertian tersebut, Gunawan Widjaja menyampaikan dalam pembahasan doktrin fiduciary duty bahwa terdapat keharusan bagi Direksi suatu Perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusannya untuk senantiasa:[2]

  1. Bertindak dengan itikad baik
  2. Senantiasa memperhatikan kepentingan Perseroan dan bukan kepentingan dari pemegang saham semata-mata
  3. Kepengurusan Perseroan harus dilakukan dengan baik, sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya, dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa Direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri
  4. Tidak diperkenankan untuk berada dalam suatu keadaan yang dapat mengakibatkan kepentingan dan atau kewajibannya terhadap perseroan berbenturan dengan kepentingan perseroan, kecuali dengan pengetahuan dan persetujuan perseroan.

Keempat hal tersebut menurut Gunawan mencerminkan bahwa antara Direksi dan Perseroan terdapat suatu hubungan saling ketergantungan, dalam hal ini kegiatan dan aktivitas perseroan bergantung pada Direksi sebagai Organ yang melaksanakan pengurusan Perseroan, sementara itu keberadaan Perseroan merupakan akibat adanya Direksi. Oleh sebab itu, tanpa adanya Perseroan maka tidak pernah ada Direksi begitu pun sebaliknya. Hubungan saling ketergantungan tersebut dinamakan dengan fiduciary relation, yang selanjutnya melahirkan fiduciary duty bagi Direksi terhadap perseroan yang telah mengangkatnya sebagai pengurus dan perwakilan bagi perseroan, dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai maksud dan tujuan, serta untuk kepentingan perseroan.[3]

Doktrin fiduciary duty tersebut pada prinsipnya menekankan pada itikad baik dan penuh tanggung jawab bagi Direksi suatu perseroan terbatas dalam melaksanakan tugas pengurusannya. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, tepatnya pada Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan:

Pasal 97

(1)  Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).[4]

(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Sementara itu bentuk pertanggungjawaban Direksi sebagai akibat dari doktrin fiduciary duty dapat dilihat pada Pasal 97 ayat (3) dan (4) Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:

Pasal 97

(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap Direksi

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban Direksi bersifat pribadi dan tanggung renteng (Joint and several liability) pada masing-masing anggota nya atas kerugian perusahaan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas kepengurusannya.

Doktrin Business Jugedment Rule

Selain doktrin fiduciary duty yang menekankan pada perlindungan bagi pemegang saham maupun perusahaan atas tindakan pengurusan yang dilakukan oleh Direksinya, selanjutnya akan dibahas doktrin yang menjadi penyeimbang untuk melindungi Direksi atas tindakkan pengurusan yang dilakukannya yakni doktrin business judgement rule. Black Law Dictonary mendefinisikan business judgement rule sebagai berikut:

The presumption that in making business decisions not involving direct self-interest or self-dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith, and in the honest belief that their actions are in the corporation’s best interest. • The rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care, and within the directors’ or officers’ authority.[5]

Sejalan dengan pengertian tersebut, Munir Fuadi menyampaikan bahwa doktrin business judgement rule mendalilkan seorang direktur tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik buat perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sungguhpun tindakan tersebut ternyata keliru atau tidak menguntungkan atau bahkan merugikan perseroan. Dengan demikian, bahkan pengadilan atau rapat umum pemegang saham pun tidak boleh melakukan second guess terhadap keputusan bisnis (business judgement) dari direktur.[6]

Prinsip business judgement rule tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, tepatnya pada Pasal 97 ayat (5) yang menyatakan:

Pasal 97

(5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

  1. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  3. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  4. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka, Direksi secara pribadi maupun tanggung renteng tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan apabila: pertama, dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, kedua, telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan, ketiga, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan keempat, telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya apabila dapat dibuktikan bahwa kerugian yang dialami oleh suatu Perseroan Terbatas dimaksud terjadi karena kesalahan atau kelalaian dari Direksi maupun anggota Direksi, maka terhadap Direksi/anggota Direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng. Sebaliknya, apabila dapat dibuktikan bahwa:

  1. Kerugian yang dialami tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian Direksi maupun anggota Direksinya;
  2. Direksi maupun anggota Direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan;
  3. Direksi maupun anggota Direksi tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian tersebut; dan
  4. Direksi maupun anggota Direksi telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut;

maka Direksi maupun anggota Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami Perseroan Terbatas tersebut.

 

 

[1] Brian A Garner, Black’s Law Dictonary 8 (Eight) Edition, (West Publising Company, 2004) hlm. 1536

[2] Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 23-24

[3] Loc. cit.

[4] Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas menyatakan “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan

[5] Op. Cit, Black’s Law Dictonary…, hlm. 596

[6] Dr. Munir Fuady, SH, MH, LLM, Hukum Perusahan Dalam Paradigma Hukum Bisnis (Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007), (Citra Adiyta, 2009), hlm. 8